Jumat, 19 Juni 2009


Sudah kukatakan kepadamu, berulang-ulang, mungkin sudah berjuta-juta kali kalau aku cinta padamu walaupun hanya kubisikkan ke dalam hatimu. Aku tahu kau pasti tidak mengerti arti tatapan mataku. Mungkin kau juga tak tahu siapa namaku. Sedangkan aku, nama ayahmu saja aku tahu. Cinta ini telah kulahirkan dari perut rasa dalam diriku tanpa kau perlu tahu.

Di suatu tempat pada suatu musim di kota aku dan kau berada, kita bertemu. Berpapasan. Tak ada tegur. Tak ada sapa. Karena kita belum saling kenal, hanya aku yang mengenalmu. Kau kesana. Aku kesitu. Tetapi kita bertemu lagi ditempat itu. Tetap tanpa kata. Tiba-tiba kau berhenti tak jauh dariku.
“Alfa…!!!” Kau memanggil namaku.
Aku berhenti. Darahku mendesir, jantungku tak bisa dikendalikan, seolah ingin melompat dari tempatnya. Dia tahu namaku, dia tahu namaku. Jeritku dalam hati. Kau berjalan menghampiriku, memberikanku seuntai senyuman.
“Aku Bumi.” Kau ulurkan tanganmu memperkenalkan diri.
“Alfa…” Kusebutkan namaku.
“Kita bisa ngobrol bentar?”
Aku hanya mengangukkan kepala serasa tak percaya. Kau ajak aku ke Café Ujung Jalan menikmati secangkir teh di tengah rintik-rintik hujan sore ini.

Pertama kali aku terlihat sangat gugup, tak tahu harus bilang apa. Kau yang mendominasi percakapan kita pada pertemuan pertama ini. Aku hanya bisa menjawab ”Ya” dan ”Tidak” sambil sekali-kali tersenyum mendengar cerita tentang dirimu. Aku merasa begitu sempurna berada di dekatmu. Setelah pertemuan itu, kau masih mengajak aku untuk bertemu untuk kedua kalinya di tempat yang sama seperti kemarin.

“Kamu kenal Fata?” tanyamu.
“Fata?”
“Iya, Fata. Fatamorgana. Kamu kenal kan?”
“Iya, dia sahabatku. Kenapa?”
“Aku…aku…suka dia.”
Aku terdiam. Aku pura-pura meneguk Cappuccino yang ada di depanku. Aku seperti terlempar.
“Tolong bantu aku, Alfa.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
Aku tidak bisa menolak permintaannya. Aku terpojok dalam rasa yang telah kuciptakan dari awal. Seharusnya aku tidak usah terlalu banyak berharap akan dirinya.
“Tolong bantu aku agar Fata juga mencintaiku.”
Aku mengangguk perlahan dengan senyuman getir di bibirku.
Aku memandang ke arah kaca jendela, mencoba menahan tetes air mata yang begitu ingin keluar dari tempatnya.
* * * * *

Aku dan Fata memang sangat berbeda. Fata begitu cantik dan memesona. Tak ada yang kurang pada diri Fata. Sedangkan aku, tak ada yang menarik dariku. Hanya lembar-lembar buku yang selalu menemani kesendirianku. Air mataku tak bisa keluar lagi. Begitu sedih. Ku hanya duduk di meja belajarku memandangi fotoku dan Fata saat masih kecil dulu. Aku kenal Fata dari SD hingga sekarang. Kami seperti tak terpisahkan, bagai saudara kembar yang selalu bersama tapi tak serupa.

“Alfa, aku masuk ya. Ada yang mau aku ceritakan…” Fata datang ke rumahku sore itu.
“Masuk aja, Ta… Pintunya gak dikunci kok.”
Fata masuk ke kamarku kemudian barbaring santai di tempat tidurku. Aku masih duduk di depan meja belajarku berpura-pura menuliskan sesuatu di atas kertas buku harianku.
“Sini dong, Al…aku mau curhat nih.”
Aku berjalan menghampirinya.
“Kenapa sih kok muka kamu kucel banget? Lagi suntuk ya? Kenapa? Cerita dong ke aku…” Kata Fata.
“Gak kok… aku gak kenapa-napa. Cuma rada pusing aja. Tadi aku ujian matematika dapet jelek. Kamu dapet berapa Ta?”
“Sama, aku juga dapet jelek. Nyante aja lagi, kan ada ujian perbaikan. Kita belajar bareng ya…”
“O, iya…kamu mau cerita apa, Ta?”tanyaku.
“Gak koq, aku cuma pengen maen aja.”
“Ta, kamu ada cowok yang disukain gak?”
“Hmmm…ada sih, tapi aku malu ceritainnya. Jangan-jangan ntar kamu juga suka sama dia, kita kan satu selera. Enakan jaga persahabatan daripada cinta-cintaan.” kata Fata.
“Iya sih, apalagi kita udah lama banget temenan. Masa gara-gara cowok kita harus berantem trus gak temenan lagi. Cerita aja cowok yang kamu suka siapa, aku pasti gak suka sama dia…” Aku berusaha membujuk Fata.
“Aku suka sama Bumi.”
Aku tersentak kaget. Ternyata Fata juga menyukai Bumi.
“Oh…Bumi juga suka sama kamu lho, Ta.” Ujarku ringan.
“Masa sih? Kamu tahu dari siapa, Al?”
“Bumi cerita samaku kemaren. Aku dimintain tolong sama dia buat jadi mak comblang kalian berdua.”


* * * * *









Yogyakarta, 17 April 2006
Untuk
Kau yang disana

Hai, apa kabar?
Sudah lebih tiga tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Padahal semenjak pertemuan kita di Cafe Ujung Jalan kita telah menjadi sahabat. O,iya… Bagaimana kabar Fata disana? Kamu gak berpaling ke lain hati kan? Waktu itu kamu bilang padaku kalau kamu akan mencintainya selamanya. Berarti aku gak akan pernah dapat kesempatan untuk miliki kamu kan?
Sebelum pertemuan kita waktu itu, aku sudah tahu tentang kamu. Semuanya. Pasti kamu gak tahu kan? Ya jelas aja, di pikiranmu kan cuma ada Fata.
Aku mencintaimu lebih dari kamu mencintai Fata. Aku hanya ingin mengorbankan sedikit rasa dihatiku. Toh, aku masih bisa tetap dekat dengan kamu. Kamu berhutang budi padaku, Bumi. Aku hanya mau jujur tentang perasaanku padamu. Tak ada sedikitpun niatku untuk merebutmu dari sisi Fata. Jelaskan pada Fata ya!! Kalian dua orang terbaik yang pernah aku miliki. Sebenarnya aku juga ingin bersama-sama dengan kalian disana, tapi Tuhan tidak pernah mengijinkan aku walaupun hanya sekedar menjenguk saja. Padahal begitu banyak cerita yang harus kubagi dengan kalian.

Ini suratku yang pertama. Mudah-mudahan sampai ke tangan kalian. Walaupun Bumi sudah menyatu dengan bumi dan Fatamorgana semakin menjadi bayang-bayang, kalian selalu ada di hatiku.
Aku tetap menunggu kalian disini untuk menjemputku.
Aku sayang kalian.

Salamku,
Alfa Omega

* * * * *

Aku menyusuri sepanjang jalan ini menuju kantor pos kota untuk mengirimkan surat ini kepadamu yang berada di surga abadi.

संपै Kapan


Menantikanmu dalam jiwaku
sabar ku menunggu, berharap sendiri
Aku mencoba merindukan bayangmu
karena hanyalah bayanganmu yang ada

Hangat mentari dan terangnya rembulan,
mengiringi hari-hariku yang tetap tanpa kehadiranmu
Indahnya pelangi yang terbit kala sinar matamu menembus relung hatiku

Pantaskah diriku ini mengharapkan suatu yang lebih dari hanya sekedar perhatian dari dirimu yang kau anggap biasa saja atau mestikah ku simpan dalam diri lalu ku endapkan rasa ini terus selama-lamanya

Diriku cinta dirimu dan hanya itulah satu yang aku tak jujur kepadamu,
ku ingin kau mengerti. Mungkinkah engkau sadari cinta yang ada di hatiku tanpa sepatah kata pun ku ucapkan padamu.

Sayang, dapatkah aku memanggilmu sayang?
Sampai kapan aku pun tak sanggup tuk pastikan ku dapat memendam seluruh rasa ini
Dengarlah jeritan hatiku untukmu dan aku ingin engkau mengerti apa yang di hatiku, sanubariku, kita kan berdua selamanya.


source:
*Maliq & D'Essentials
*Google

Rabu, 17 Juni 2009

betapa aku merindukanmu.



Yang tak biasa,
yang diberikannya untukku.
Yang tak bisa,
yang direlakannya untukku.

Terasa dalam cintanya,
terasa nikmat kasihnya.

Dalam jauh,
dia tak pernah jenuh.
Bahkan tak pernah mengeluh,
ketika aku tak patuh.

Betapa aku merindukanmu.



Dia keren banget!
Cuma itu kata yang bisa gue ucapin buat Agyness.

Selasa, 14 April 2009

Kukuh Tidak Keren

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi-mimpi dengan hasrat membara. Mimpi yang terus berjalan walau raga terjaga. Mimpi yang terlalu dipaksa untuk menjadi nyata.
Ketika itu masih pagi. Kukuh berjalan mengitari jiwanya. Jiwanya sedang bekerja dan sedang tak ingin diganggu karena sibuk, sibuk memacu raga Kukuh untuk terus membangun mimpi. Jiwa Kukuh penuh dengan emosi. Emosi jiwa. Tetapi Kukuh kehabisan persediaan emosi di dapurnya. Kukuh sudah pergi ke warung Bu Cipto yang ada di ujung gang ini, ke supermarket di seberang jalan raya, bahkan ke pasar tradisional tetapi masih saja belum didapat. Sewaktu Kukuh pergi ke pabrik emosi, Kukuh melihat papan pengumuman di pagar pabrik dengan tulisan “Gulung Tikar”. Kukuh tidak mendapatkan emosi, tetapi jiwanya penuh emosi. Emosi jiwa.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi-mimpi dengan keinginan badani. Mimpi yang kuat walaupun lemah dengan segala akar yang ditanam padanya. Bertumbuh tetapi tidak berbuah. Berakar tetapi tidak bernyawa.
Kukuh terdiam untuk beberapa saat. Pagi ini terasa melelahkan bagi Kukuh. Kukuh menarik nafas dalam sekali kemudian bangkit perlahan menuju dapur. Kukuh mengambil secangkir gelas dan air panas. Dalam cangkir itu Kukuh menuangkan sesendok makan kopi dan sesendok makan gula pasir. Setelah itu Kukuh menyiramnya dengan air panas. Kukuh menyeduh kopi pagi-pagi. Sangat harum dan menggugah selera. Kukuh dapat oleh-oleh dari temannya yang orang Batak sewaktu pulang kampung kemarin. Kata teman Kukuh, belum ada yang bisa mengalahkan rasa kopi dari Sidikalang, kampung halaman teman Kukuh. Teman Kukuh mungkin memang benar karena Kukuh sekarang benar-benar menikmati kopi itu.

Kukuh berjalan ke halaman belakang rumahnya. Sepi karena memang hanya dia saja yang tinggal di rumah mungilnya itu. Tak ada istri atau kekasih hati bahkan sanak saudara. Kukuh dilupakan, seperti ditiadakan, tak ada arti. Tapi bagi Kukuh, dia sangat berarti bagi dirinya sendiri karena dia punya mimpi.
Dulu Kukuh punya kekasih, punya pujaan hati. Kukuh sangat mengagumi segala keindahan yang ada pada diri gadis itu. Walaupun keindahan itu sendiri tidak pernah punya nama. Tapi Kukuh tidak bisa mencintai gadis itu lama-lama. Kukuh mengambil nyawanya.
Siang itu kekasih Kukuh lapar. Kekasih Kukuh baru pulang jalan-jalan bersama temannya. Kukuh memasakkan mi instant untuk kekasihnya. Kukuh menambahkan sebutir telur pada mi instant itu sebagai pengganti lauk. Kukuh mengamati kekasihnya makan. Kukuh begitu mengaguminya. Kukuh tak ingin kehilangan kekasihnya. Kukuh tidak mau kehilangan adiknya. Kekasih Kukuh = Adik Kukuh = PAMALI. Kekasih Kukuh tidak tahu kalau Kukuh begitu mencintainya. Adik Kukuh tidak tahu kalau Kukuh begitu mencintainya. Satu darah. Orang tua Kukuh melarang Kukuh untuk bersama kekasihnya selamanya.
“Kalian satu darah..” Kata Ayah Kukuh.
Kukuh masuk ke dalam kamar kekasihnya. Kekasihnya sedang tidur dengan nyenyaknya. Sangat cantik. Begitu manis. Kukuh tak henti-henti mengaguminya. Kukuh duduk di samping kekasihnya. Kelambu yang menutupi tempat tidur disingkap oleh Kukuh. Tempat tidur besi yang sudah tua berdenyit ketika Kukuh hendak duduk. Kukuh membelai rambut panjang kekasihnya dengan halus, tak ingin kekasihnya terbangun dengan kehadiran Kukuh di kamar itu. Kukuh mengecup kening kekasihnya sangat lembut. Mesra. Kukuh ingin mengganti darah kekasihnya dengan yang lain. Karena ayah melarang Kukuh mencintai kekasihnya. Itu bukan suatu masalah yang besar bagi Kukuh. Tapi Kukuh tidak mendapatkan darah yang lain untuk digantikan.

Kukuh menyiapkan tabung ini untuk menampung darah yang akan bercucuran dari tubuh kekasihnya. Kukuh ingin menguras habis darah yang ada pada tubuh kekasihnya. Karena ayah melarang Kukuh mencintai kekasihnya. Darah terus mengalir perlahan. Perlahan hingga tetes terakhir. Kukuh membius kekasihnya. Kukuh tidak tega menyakiti kekasihnya tetapi Kukuh telah menyakitinya. Sakit sekali.
Kukuh menyudahi hidup kekasihnya.
Kukuh tak ingin kehilangan kekasihnya.
Kukuh kehilangan kekasihnya.
Kukuh kesepian.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi-mimpi dengan nafsu. Mimpi-mimpi yang semakin menggila. Membutakan mata hati Kukuh akan kehidupan. Bukan kehidupan yang kejam, tetapi hidup yang di dalam kehidupan itu yang terlalu kejam. Kukuh tidak kejam. Kukuh hanya ingin bertahan dengan mimpi-mimpi, Kukuh hanya ingin mencoba jalan-jalan yang mungkin dapat mewujudkan mimpinya.

Kukuh tidak pernah sekolah. Kukuh ingin sekolah karena Kukuh ingin mewujudkan mimpinya. Tapi ayah tidak mengijinkan Kukuh sekolah. Lebih baik Kukuh pergi ke ladang daripada ke sekolah, kata Ayah. Ayah yang mengajari Kukuh di rumah. Belajar membaca dan belajar menulis. Tetapi Kukuh tidak diajari KASIH oleh ayah. Kukuh diajari cara bertahan hidup walaupun tidak tahu bagaimana cara untuk hidup.Kukuh takut sosok ayah. Kukuh tidak berani menatap mata ayah ketika berbicara. Kukuh takut dicambuk lagi. Kukuh takut dipalung lagi. Kukuh merasa sangat asing berada dekat dengan ayah walaupun ayah telah mengajari Kukuh untuk mempunyai mimpi. Ayah kejam. Tetapi adik Kukuh begitu manisnya bagi Kukuh.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam suatu keegoan yang manusiawi. Mimpi-mimpi yang menjadi dasar untuk menapaki setiap langkah dalam jalinan nafas yang terhembus. Tuhan tidak memberikan nafas secara cuma-cuma, apalagi diskon. Semua dibayar mahal. Untuk hidup. Untuk mimpi. Untuk bersyukur.

Kukuh telah menghabiskan segelas kopi yang dibuatnya tadi. Kukuh kembali ke dapur meletakkan gelas kopi yang sudah kosong. Kukuh belum sarapan. Tetapi di meja makan tak ada apa-apa kecuali tudung saji dan teko kecil tempat persediaan air minum. Kukuh berjalan menuju ruang santai. Sebentar lagi acara kesayangan Kukuh akan mulai ditayangkan.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi yang tidak mempertimbangkan segala konsekuensi yang akan terjadi. Mimpi-mimpi yang semakin menenggelamkan Kukuh dalam suatu lingkaran. Lingkaran yang membawa Kukuh untuk kembali ke tempatnya semula berpijak. Terjatuh memang, tetapi itu yang diinginkan oleh Kukuh. Terluka memang, tetapi Kukuh sedang membangun mimpi.

Kukuh tidak keren. Tidak ada hal yang istimewa yang bisa ditemui pada diri Kukuh. Rambut Kukuh agak sedikit berombak, tidak lurus. Baru saja Kukuh memangkas rambutnya. Botak model tentara. Potongan rambut yang biasa saja, tidak menggigit selera orang untuk sekedar melirik Kukuh, kecuali Kukuh sedang melakukan suatu tindakan aneh yang memaksa sepasang mata tiap manusia memandangnya. Warna kulit Kukuh sawo matang, benar-benar matang. Wajar saja hal ini terjadi karena Kukuh ikut ayah untuk bekerja di ladang. Kukuh tidak berani membantah perkataan ayah. Warna bola mata Kukuh cokelat bening. Seperti hasil perkawinan campuran antara orang ndeso dengan londo. Mata Kukuh sangat tajam bagai mata elang. Pantas saja ayah merasa tertantang ketika beradu mata dengan Kukuh. Alis tebal yang menyambung bagai ulat bulu menghiasi kening Kukuh. Semakin menambah seram ketika melihat Kukuh. Hidung Kukuh tidak terlalu menjulang dengan ukuran lubang hidung yang lumayan besar. Bibir Kukuh merah menawan. Kata ibu sewaktu Kukuh dilahirkan dibibirnya diolesi darah bekas persalinannya. Bukan hanya Kukuh tetapi juga adik Kukuh, kekasih Kukuh. Tetapi Kukuh telah kehilangan kekasihnya. Tetapi Kukuh telah kehilangan adiknya. Kukuh menguras darahnya karena kata ayah mereka tidak boleh bersama gara-gara darah. Badan Kukuh tegap, terbiasa ke ladang. Badan Kukuh berotot, terbiasa bekerja keras. Kukuh tinggi, menurun dari ayahnya.

Kukuh tidak keren. Begitu banyak hal-hal yang sangat diperlukan tidak ada di dalam diri Kukuh. Kukuh sangat tidak pemberani, penakut. Takut pada ayah. Takut pada dirinya sendiri. Takut kehilangan kekasihnya. Kukuh tidak berani berontak. Diam, tanpa perlawanan. Kukuh tidak berani mengkhianati perasaannya. Kukuh telah kehilangan kekasihnya tetapi Kukuh menyangkal hal itu. Kukuh hanya mau mencintai tanpa berusaha untuk dicintai. Kukuh terlalu pasrah untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Kukuh tetapi tidak kukuh.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi yang menyiratkan sebuah ilusi. Ilusi yang fana. Ilusi yang selalu disalahartikan. Fatamorgana. Ada jiwa yang hidup di dalam jiwa. Ada dua sisi yang sangat bertolak belakang lahir dalam raga. Ada nyawa ada Tuhan.

Kukuh punya banyak teman di kampung. Teman bermain, teman di ladang. Tetapi Kukuh sudah pindah ke kota beberapa tahun yang lalu. Di kota tak ada ladang. Di kota tak ada teman. Sepi. Hanya ada kekasih Kukuh. Tetapi Kukuh telah kehilangan kekasihnya. Ibu pergi ke surga tidak pulang-pulang lagi. Kukuh sayang ibu. Ibu mirip sekali dengan adik Kukuh. Kukuh sayang adik. Tetapi adik darahnya sudah habis. Kukuh sayang ayah. Kukuh juga benci ayah. Ayah mirip adik. Ayah mirip Kukuh. Kukuh mirip adik. Adik mirip Kukuh. Tetapi Kukuh mencintai adik sangat dalam walaupun adik tidak tahu. Ibu hadir dengan segala kelembutannya menenangkan hati ayah yang panas karena Kukuh. Ibu mengajari ayah bersabar. Ibu mengajari ayah nrimo, pasrah pada Tuhan. Kukuh mengerti dan mau belajar. Tetapi ayah tidak. Ayah membenci Kukuh. Kukuh merindukan ibu.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi-mimpi yang mencoba setia dalam menjalankan sebuah proses. Proses kehidupan yang menyadarkan ruang antara waras dan ketidakwarasan yang semakin tipis.Kukuh hanya ingin melewati harinya dengan bahagia. Dengan senyuman. Dengan gelak tawa. Tapi Kukuh hampir bahagia karena dia punya mimpi. Walau mimpi bukan gelak tawa atau senyuman.

Kukuh ingin keluar rumah menikmati nikmatnya bau tanah pagi hari. Sayangnya, rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. Kukuh mengurungkan niatnya. Kukuh hanya bisa berdiri di muka rumah mereka.

Kukuh merasakan bosan yang sangat hebat. Bosan duduk, bosan tidur, bosan makan, bosan minum, bosan ngobrol, bosan berargumentasi dengan pikirannya sendiri. Kukuh merasa mati untuk beberapa saat. Kukuh mencoba menyuratkan sefrasa kata untuk mencoba bertahan. Kukuh punya mimpi. Kukuh punya hidup. Tapi Kukuh tidak tahu caranya untuk hidup. Kukuh tidak bisa menikmati hidupnya yang sangat singkat. Kukuh menyalahgunakan kesempatan demi kesempatan untuk tahu KASIH. Kukuh ingin tahu tetapi tak mau tahu. Kukuh ingin lari dari kenyataan tetapi tetap tak bisa jauh. Kukuh yang malang. Kukuh yang kasihan.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi-mimpi yang tidak dibumbui rasa dan asa. Mimpi yang mengalir tanpa perlu tempat pengaliran. Mimpi yang tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya.

Kukuh kecil berlari menyusuri jalan-jalan pada petakan sawah milik ayah Kukuh. Riang gembira. Kukuh kecil mengikuti langkah-langkah mungil milik teman-temannya yang baru menerima pengumuman lulus-lulusan SD. Tetapi Kukuh tidak sekolah. Walaupun demikian Kukuh kecil senang. Kukuh kecil juga punya seragam sekolah khusus untuk dirinya sendiri ketika ayah mengajari Kukuh kecil di rumah. Teman-teman Kukuh kecil mendapat ijazah tetapi Kukuh kecil tidak. Kukuh kecil banyak mendapatkan cambukan dan makian dari ayah. Kukuh kecil belum mengerti maksud ayah. Kukuh kecil tidak pernah sedih karena Kukuh kecil sudah punya mimpi.

Kukuh sudah menjadi besar tetapi Kukuh hidup dalam kebimbangan. Kukuh tidak kukuh. Kesendirian Kukuh memupuk semua amarah yang mengendap dalam batin Kukuh. Batin Kukuh merana. Tubuh Kukuh melunglai. Nafas Kukuh tersendat. Jiwa Kukuh meranggas. Tapi Kukuh punya mimpi untuk bertahan hidup. Walau dengan mimpinya Kukuh semakin dibutakan. Kukuh merasakan setiap tetes darahnya yang sama dengan darah kekasihnya mulai mendidih. Mendidihkan dendam yang tak berarti. Mendidihkan semua pengajaran yang ditanamkan padanya. Kukuh tidak aneh, pikiran Kukuh yang semakin aneh. Kukuh punya mimpi tetapi Kukuh tidak tidur. Kukuh tidak punya cita-cita karena bagi Kukuh cita-cita hanya dimiliki anak-anak yang sekolah. Kukuh malu. Kukuh merindukan belaian ibu. Ibu pergi tanpa pamit.

Kukuh sedang membangun mimpi. Mimpi dalam ketidakpastian. Mimpi yang tidak membutuhkan nilai-nilai dan norma-norma hidup. Mimpi yang ingin berbicara dengan sederhana saja lewat kata-kata yang bijak. Mimpi Kukuh bagai gajah di pelupuk mata.

Memang pagi yang melelahkan bagi Kukuh. Kukuh sudah minum kopi pagi itu, tanpa sarapan. Biasanya kalau ibu masih ada pasti di meja makan sudah tersedia berbagai menu pilihan istemewa. Apalagi dingin-dingin seperti udara di pagi ini semakin mengingatkan Kukuh pada nikmatnya pisang goreng buatan ibu. Ah, Ibu.. Kukuh kangen pada Ibu.
Ibu begitu mirip dengan adik, kekasih Kukuh. tetapi kekasih Kukuh tidak tahu kalau begitu besar cinta diberikan Kukuh untuknya. Baru semalam tadi tidak bertemu ibu rasanya sudah seperti belasan tahun tidak pernah bertemu dengan ibu. Perpisahan semalam tadi sudah diatur Kukuh seharmonis mungkin, sesedih mungkin. Kukuh ingin ibu duluan yang pergi meninggalkan Kukuh dan ayah sehingga ibu tidak perlu menangis ketika melihat onggokan tubuh ayah yang sudah tidak bernyawa lagi. Kukuh tidak ingin melihat air mata ibu tumpah melihat sesuatu yang tidak perlu ditangisi karena hal ini sudah sangat lazim diantar orang-orang yang mempunyai mimpi seperti Kukuh. Ibu Kukuh bagai bidadari. Kukuh mengantar ibunya dengan wangi bunga-bungaan khas para bidadari khayangan. Kukuh menguras darah ibu lagi karena mereka satu darah dan Kukuh mencintai ibunya.

Ayah terpaku dipojok ruangan melihat ibu seperti onggokan daging sapi tak bernyawa. Kukuh menyudahi hidup ibu. Mereka satu darah dan Kukuh mencintai ibu. Ayah terbujur kaku menatap lurus ke arah Kukuh. Kukuh tersenyum simpul pada ayah. Ini tidak akan sakit kok ayah, kata Kukuh. Ayah dan Kukuh satu darah. Kukuh mencintai ayah. Tetapi ayah membenci Kukuh.

Semua darah yang sama telah terkumpul semalam tadi. Semua yang satu darah dengan Kukuh sudah tidak ada lagi. Semua dikumpulkan menjadi satu dalam satu tabung besar. Seperti sebuah sirup rasa strawberry. Merah marun. Kukuh menyimpan darah itu di lemari pendingin untuk disajikan dalam makan malamnya sebagai sup pencuci mulut. Karena darah yang sama harus tinggal dalam satu daging. Daging Kukuh.

Pagi yang dingin mecekam. Kukuh tinggal sendiri. Kukuh pergi mandi membersihkan sisa darah yang menempel pada tubuhnya dari semalam tadi.

Kukuh sedang tidak membangun mimpi. Tidak membangun mimpi dalam suatu ketidakpastian. Mimpi-mimpi dengan hasrat membara. Mimpi yang terus berjalan walau raga terjaga. Mimpi yang terlalu dipaksa untuk menjadi nyata.

Rabu, 04 Februari 2009

MUNGKIN DAN MENUNGGU



Waktu ini, di siang ini, di sudut ruangan ini, di ujung kursi ini, semakin memojokkan aku pada suatu keadaan yang tak akan pernah bisa jelas. Tak bisa jelaskan suatu ketidakpastian. Tidak atau pasti. Pasti atau tidak. Siapa yang akan tahu. Ketika detik-detik yang terus berusaha keras menguntai waktu menjadi sebuah menit, menit menjadi sebuah jam, jam menjadi beberapa jam, beberapa jam menjadi hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun, tahun menjadi windu, windu menjadi abad, abad entah menjadi apalagi, semua menawarkan suatu ketidakpastian. Manusia-manusia yang lalu lalang terlalu menyibukkan dirinya masing-masing. Hiruk pikuk di luar ruangan juga terasa menggelitik setiap sendi yang ada di tubuhku. Kaca pembatas antara ruang-ruang otakku semakin tebal melihat berbagai perbedaan-perbedaan yang muncul dari tiap-tiap pribadi diri manusia.

*******

Seorang pria di pinggir seberang jalan duduk di tepi trotoar. Telepon genggam yang dipegangnya erat, terlihat erat sekali, sesekali ditilik olehnya. Mungkin dia menunggu sms masuk, atau mungkin dia menunggu telepon dari seseorang, atau mungkin dia ingin menghubungi seseorang tetapi dia enggan menghubunginya, atau kemungkinan lainnya dia tidak mempunyai cukup pulsa dan tidak mempunyai uang untuk mengisi ulang pulsanya. Pria itu berdiri sambil menggigit-gigit ujung jarinya, terlihat sangat gundah. Mungkin dia telah melakukan suatu kesalahan besar dalam hidupnya. Kemudian dia melipat kedua belah tangannya seperti berdoa. Mondar-mandir. Resah. Lalu dia melangkah perlahan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah…. Pada langkah yang ketiga dia mengurungkan niatnya, dia berbalik. Dia pasti mencari suatu kepastian, batinku. Dia terpaku diam. Gerakan itu terjadi lagi, dia berbalik jalan lagi. Pasti dia tadi mencoba membangun sebuah tekad, keberanian, sepertinya. Melangkah, melangkah lagi, terus melangkah menghampiri laki-laki paruh baya yang duduk di trotoar jalan yang sama seperti dia dan cuma berjarak sekitar tujuh langkah. Pria tersebut mengajak bicara laki-laki paruh baya itu. Kemudian laki-laki paruh baya mengeluarkan sesuatu dari dalam kantungnya. Oh…ternyata pria itu cuma ingin pinjam korek.

Lain lagi dengan gadis yang berdiri di depan café ini. Terlalu sibuk memilin-milin rambutnya yang agak ikal sambil membaca sebuah buku. Mengapa dia tidak masuk saja dan duduk di dalam café sambil minum secangkir kopi, pikirku. Mungkin dia menunggu seseorang, pacarnya atau temannya. Mungkin mereka ingin menonton film baru di bioskop. Maklum. Sekarang gelar film semakin meledak saja, baik itu lokal maupun dari luar. Mungkin juga mereka mau pergi ke mal, biasa…window shopping. Atau mereka mungkin mau pergi ke panti asuhan, sedikit memunculkan rasa solidaritas. Atau bahkan mereka akan pergi ke panti jompo, mungkin nenek atau kakek mereka disana. Seorang wanita berpakaian lusuh datang menghampiri perempuan itu. Seorang pengemis. Kadang aku berpikir bagaimana mungkin dia bisa meminta belas kasihan dari orang lain tanpa melakukan suatu usaha padahal orang yang dimintainya berusaha mati-matian buat mendapatkan seratus rupiah. Tapi entahlah, dunia mana kita tahu. Tuhan sudah mengatur strategi yang jitu untuk semuanya.
Gadis itu memberikan satu kepingan logam pada wanita berpakaian lusuh itu. Entah berapa nilai kepingan logam itu tidak terlihat dari balik kaca jendela ruangan ini. Gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri. Kemudian melihat jam yang melekat di tangan putihnya. Gadis yang lumayan. Pasti banyak laki-laki yang mencoba menaklukkannya. Gadis itu melihat ke seberang jalan kemudian tersenyum simpul. Dari seberang jalan juga muncul sebuah lambaian tangan. Oh, ternyata pria yang tampak gusar karena hanya ingin meminjam korek api tadi yang ditunggu sang gadis. Pria itu menyeberangi jalan, menghampiri sang gadis. Sentuhan hangat terjalin ketika pria itu memegang tangan sang gadis dan membelai rambut hitam gadis itu. Mereka berjalan mulai mendekati café tempatku duduk mengintai mereka. Mereka duduk di samping mejaku.

Secangkir kopi yang kupesan sudah hampir habis. Sudah sejam lebih aku duduk sendiri menanti kedatangan Rianti. Lelah sudah. Lelah duduk. Lelah minum kopi. Lelah mengamati tiap-tiap orang. Lelah menunggu. Lelah menghadirkan berbagai kemungkinan di kepalaku.

Bumi ini apakah daku punyai
Mengapa slalu sesak nafas kurasa…
Sempit ruang dalam kamarku yang pengap
Tak bisa gapai tangan kekar mengekang
Aku yang hina namun tetap manusia
Sama makan nasi dan meminum air…

Perlahan lagu lama Melly Goeslaw hadir dalam café ini, mengisi potongan-potongan kalimat yang terhenti antara berbagai manusia yang mengisi ruang ini. Benar kata Melly, kalau memang bumi ini punyaku, punya manusia, mengapa selalu terasa sesak, mengapa begitu banyak aturan-aturan yang sangat menjengkelkan. Mengapa aku harus bayar uang kos tiap bulan kalau memang benar dunia ini milikku… begitu rumit jawaban yang akan didapat hanya dengan pertanyaan yang begitu sederhana.

Aku sudah hampir mati kesal. Rianti. Harusnya dia memberi kabar kalau dia terlambat atau tidak datang sama sekali. Mungkin dia terlambat bangun, baru bangun pukul satu siang. Kemudian dia bergegas mandi tetapi sayang dia lupa kalau sabun mandinya jatuh ke wc dan dia kehabisan persediaan di kamarnya. Atau mungkin dia membeli makan siang dulu di warung bu Suryo dekat tempat kosnya dan sakit perut setelah memakannya. Akibatnya, Rianti harus keluar masuk kamar mandi beberapa kali. Mungkin dia mendapat telepon mendadak dari rumah sakit kalau anjingnya “Smoothie” tewas ketika menyeberangi jalan mengejar seekor kucing di kampungnya. Mungkin juga tiba-tiba Rianti kehilangan kunci kamarnya sehingga tidak bisa ditinggal pergi begitu saja. Kemungkinan lain adalah Rianti berjalan keluar dan di perjalanan hendak menunggu taksi kepalanya di hinggapi kotoran burung dan memaksa Rianti untuk kembali ke kamarnya untuk mandi lagi. Atau mungkin juga dia terjebak macet ketika dalam perjalanan kemari. Mungkin dia tersesat di kota ini, tidak tahu jalan pulang, tidak tahu jalan pergi, tidak tahu jalan ke café ini, tidak tahu jalan Ahmad Yani no. 32. Dan mungkin kemungkinan terakhir adalah bahwa Rianti tidak ingat kalau dia telah berjanji untuk bertemu denganku, Jingga, di sebuah café di kawasan jalan Ahmad Yani no.32 untuk menyelesaikan tugas kuliah yang akan dikumpulkan besok pagi pada bapak drs. Gerilya Prabu, M.Si.


*******

“Ga, sorry…aku ga jadi datang. Aku tadi mau kesana. Tadi aku terlambat bangun, baru bangun jam satu. Aku cepat-cepat mandi dan ternyata aku baru ingat tadi malam aku menjatuhkan sabun mandiku ke wc. Aku harus ke warung sebelah dulu beli sabun. Habis itu, aku makan dulu di warung bu Suryo. Setelah makan eh…aku sakit perut, jadi aku bolak balik kamar mandi. Habis dari kamar mandi tiba-tiba handphone-ku bunyi, aku di telpon dokter hewan dan dibilangin kalau si-Smoothie mati ketabrak mobil. Udah gitu aku kehilangan kunci kamar dan harus nyari dulu. Pas udah ketemu, aku keluar dari kamar, aku diberakin burung. Sialan. Akhirnya aku pulang dan mandi lagi. Kemudian aku berangkat lagi dan terjebak macet. Aku gak tahu aku berada di jalan apa. Aku juga tersesat. Bahkan jalan mau ke café tempat kita bertemu pun aku gak ingat. Diantara kebingunganku karena mendadak aku gak tahu rute jalan, aku benar-benar lupa pada janjiku untuk bertemu. Aku malah pergi ke rumah sakit untuk melihat Smoothie yang sudah tak bernyawa. Sekarang aku berada di upacara pemakaman Smoothie. Kamu datang ya Ga… temani aku disini. Oh, iya… ngomong-ngomong kamu masih di café gak?”
“……………………………”

Senin, 12 Januari 2009

Berkhayal, menulis: jenuh.

Perubahan yang terjadi dalam hidup ini begitu cepat dan tidak signifikan.
Banyak hal yang semakin mengajari untuk berbuat menurut keinginan daging: hawa nafsu.
Nafsu yang ingin menegaskan bahwa kita sebenarnya ada di muka bumi ini, kita juga diciptakan Tuhan untuk melengkapi isi dunia ini, dan bahwa kita punya cukup arti untuk orang lain.
Menanggapi itu, dunia semakin dipenuhi oleh berbagai macam kecongkakan.

Demikian juga aku.
Aku menganggap menulis itu adalah bagian penting dari hidupku, unsur utama yang tidak bisa dipisahkan dari otakku, dari badanku. Tanpa menulis aku bisa mati, tak bernyawa.
Tapi kenapa aku sekarang tetap ada?
Jawabnya: itu hanya hawa nafsu yang mengekang.
Dalam benakku, aku harus menulis. Aku harus menulis. Aku harus menulis.
Tapi mana???
Novelmu belom jadi.
Cerpenmu untuk Nino juga masih tetap berhenti pada halaman 3.
Katanya mau jadi novelis, ingin seperti Ayu Utami.

Berkhayal ternyata tidak mudah.
Pikiranku berhenti pada satu titik: jenuh.
Menulis ternyata tidak mudah.
Pikiranku berhenti pada satu titik: jenuh.
Berkhayal, menulis: jenuh.

Kamis, 08 Januari 2009

The Very Cheap Trip From Jogja To Malang



Trip murah meriah ini terselenggara atas kepenatan-kepenatan yang sudah memuncak setelah terkungkung dengan persiapan PEKIK 2008. Para pejuang itu adalah diri saya sendiri, corey, nita, danang, nino, reza, tomi, kukuh, dan abay. Seharusnya kami berangkat hari Sabtu, lupa tanggal berapa yang jelas januari 2008, pukul 9.30 WIB, tapi Nino emang bukan morning person jadinya kami harus telat berangkat karena nino baru bangun pukul 9.30 WIB. Akhirnya menunggu kereta yang berangkat pukul 15.00 WIB dehh..

Pertamanya excited banget ngeliat harga kereta ekonomi yang super duper murah, bayangin aja dengan uang Rp. 21ribu udah bisa nyampe Surabaya dari Jogja..haha..tapi pas naik bus ac ekonomi dari surabaya-malang agak kaget, agak mahal, 15ribu. Nyampe Malang tengah malem jam 12an trus dijemput sama om nya abay, trus nginep di rumah om nya abay.

Besok pagi, kami bersilaturahmi dulu ke rumah neneknya abay, habis itu muter muter Malang dan kembali lagi ke rumah om abay dengan acara: bakar-bakar ayam........ehhmmmm!

Sayangnya siang itu hujan, akhirnya kami nunggu sampai hujan reda. Habis itu kami melanjutkan perjalanan ke kebun apel di Batu. Seru! Gak bisa bedain yang mana apel belom mateng dan yang mana apel udah mateng habisnya warna sama: hijau! Hahaha..

Dari Kebun Apel, kami nyiapin perjalanan menuju Bromo. Dari kami ber8 ternyata gak ada yang bawa topi buat menyamarkan hawa dingin menusuk selama di Bromo, akhirnya kami memutuskan untuk singgah sebentar ke Factory Outlet di Malang..haha..semua harga diskon 40%. Sebenernya sangat tertarik dengan diskon yang lumayan gede, tapi apalah daya cuma bawa duit pas-pasan..hehe.

Tujuan utama ke Malang, Bromo, akhirnya akan dilalui. Berangkat jam 2 subuh dari rumah neneknya abay, singgah bentar di Circle K beli makanan dan minuman buat di atas ntar. Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Jalan sempit dan berbatu lagi gelap yang kami lalui. Belom lagi si abay yang sangat overacting sambil bawa mobil (maav bay, diriku jujur...hehe). Masa uda tau jalan gelap, berbatu, lobang2, sempit, di kiri jurang di kanan tebing, nyetir sambil nyuting. Terang aja aku dan nita yang semula ada dalam mobil akhirnya turun. Kami gak mau mati muda masuk jurang..hehe.

Kalo dicritain sedetil-detilnya bisa jadi novel nih!hehe..
Akhirnya sampailah di puncak Bromo, sayang matahari gak bersahabat, mendung..haha..antara sedih dan bahagia. Bahagia: akhirnya bisa menginjakkan kaki disana. Sedih: Matahari gak cakep banget.

Seharian pulang dari Bromo, kami ber8 tepar di tempat tidur, baru bangun lagi magrib. Mandi, merias diri, kemudian stand by lagi dalam mobil menuju Payung. Dari sini nih, Tomi mulai ngambek-ngambek gitu deh, katanya sih sakit gigi, tapi gak tau penyebab sebenernya. Ada cerita lucu di Payung. Aku, Reza, dan Kukuh beradu akting layaknya reality2 show di tipi2. Jadi inget, "Bay, mana editan videonya???"

Esokan hari, berangkat pagi menuju Pulau Sempu, menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam kesana. Wahhh, itu kayak pulau pribadi banget deh. Kami naik kapal menuju Pulau Sempu dan pesen sama yang punya kapal kalau nanti sore kami dijemput lagi. Bayangin aja, di pulau itu, yang berenang cuman kami ber8 aja. Seneeeeng banget deh pokoknya..

Pulang dari Sempu kami tepar lagi. Besok kami akan menuju Surabaya.
Jangan sampai ke Surabaya gak foto2 sama patung sura dan baya...hehehe..itu cita2ku selama trip ini. Sayangnya Tomi ternyata gak setuju kalo masih harus mampir ke Surabaya lagi, gak tau tuh, kemaren Tomi bener2 error. Kami ber7 gak peduli sama Tomi..hahaha..kapan lagi coba ke Surabaya?
yasudah, rencana nginep semalam di Surabaya gagal.

Akhirnya setelah ngider Surabaya dari patung sura dan baya, mesjid cheng ho, tunjungan plaza (bayangin kami ber8 ke mal ala backpacker dengan sendal jepit, tas ransel segede gaban, kantong kresek oleh2...hahaaha) kami bertolak ke terminal Purabaya.
Perjuangan blom sampai disitu ternyata, setelah kehabisan tiket kereta yang sangat murah, kami juga harus berjuang rebutan kursi Bus Eka (padahal judulnya uda bus AC Patas tapi tetep rebutan. Huh!)

Setelah melakukan perjalanan selama 6 jam, akhirnya nyampe jogja jam 2 subuh. Tanggung banget nih buat balik ke kos masing2, akhirnya kami mutusin untuk singgah di McD Sudirman..haha..
Bayangin aja, tampilan kami ber8 tadi dengan style backpacker bercampur dengan orang-orang yang juga nongkrong habis dari dunia gemerlap (baca:dugem)..hehe..sangat jungkir balik.

Makan sepotong burger dengan segelas kopi panas ditambah dengan lawakan2 dan flashback selama perjalanan selam 6 hari bisa membuat subuh hari itu berlalu sangat cepat.
Tibalah saatnya pulang ke kos masing2 dan memamerkan foto2 perjuangan kami pada temen2 yang sebenernya pengen ikut tapi gak bisa ikut (baca:mega, iphie, dan yumir...hehehe).

Dengan modal kurang dari 300ribu, aku dan ke7 temenku berhasil menyusuri Malang dan sekitarnya.


Manusia bercerita,
Corey

Rabu, 07 Januari 2009

Damn! Ini sama saja dengan surat cinta!

Maaf aku miliki niat menyesatkanmu dengan perasaan bersalah.

Aku tak mau menyesal sampai aku tak berumur lagi.

Yang pertama dan yang terakhir kalinya aku begini.

Hanya baca, tak perlu ada komentar atau balasan.

Tak perlu menjadi tak biasa.

Ini memang emansipasi, tapi bagiku suatu petisi.

Rendahnya aku dengan tidak menjadi diri sendiri,

rendahnya aku dengan kata yang kujilat setelah kumuntahkan.

Damn! Ini sama saja dengan surat cinta!

Di peradaban orangorang biadab aku melakukan hal yang nista (karena ini surat cinta!).

Intinya: aku cinta padamu!

Aku tak pernah mengenalmu lebih dalam,

tapi aku ingin lebih dalam menikmati rasa ini.

emas atau batu

dengan berani aku bertaruh akan hidup,
akan cita,
akan citra,
dengan akal dan pikiran yang tertutup.

frasa waktu menyilakan membuka pintu,
hingga berada pada satu titik tentu,
emas atau batu.

emas:
hanya menyiram tunas.
batu:
harus mengukir selaras waktu.

Pulang Ke Hatimu

pulang kehatimu.
di desa atau di kota sama saja.
yang penting aku berada di hatimu, membekas.
bisakah?

aku membusuk dengan rasa yang terlalu dalam.
dalam, hingga menusuk perut bumi.
sampai ke magma, tapi tak pernah mau meletus.
pernah suatu kali akan meletus,
tapi jantung ini tak terhitung lagi detaknya sudah berapa ribu kali per menitnya.
gagal!

yang tinggal,
aku tersungkur di dasar stanza tak kan akan pernah pulang ke hatimu
karena hatimu tidak melahirkan aku sebagai anak rantaumu.

Selasa, 06 Januari 2009

baru yang sudah lama

Dear all,
diriku sebenernya udah pernah punya blog sebelum ini, tapi gak tau kenapa selalu aja gue lupa passwordnya padahal udah berulang-ulang dikirim balik ke email, tapi ya sudahlah...
gue akan posting ulang tulisan2 gue yang ada di blog sebelum ini, semoga yang udah pernah baca gak kecewa.. ^.^

love you all,
corey