Rabu, 04 Februari 2009

MUNGKIN DAN MENUNGGU



Waktu ini, di siang ini, di sudut ruangan ini, di ujung kursi ini, semakin memojokkan aku pada suatu keadaan yang tak akan pernah bisa jelas. Tak bisa jelaskan suatu ketidakpastian. Tidak atau pasti. Pasti atau tidak. Siapa yang akan tahu. Ketika detik-detik yang terus berusaha keras menguntai waktu menjadi sebuah menit, menit menjadi sebuah jam, jam menjadi beberapa jam, beberapa jam menjadi hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun, tahun menjadi windu, windu menjadi abad, abad entah menjadi apalagi, semua menawarkan suatu ketidakpastian. Manusia-manusia yang lalu lalang terlalu menyibukkan dirinya masing-masing. Hiruk pikuk di luar ruangan juga terasa menggelitik setiap sendi yang ada di tubuhku. Kaca pembatas antara ruang-ruang otakku semakin tebal melihat berbagai perbedaan-perbedaan yang muncul dari tiap-tiap pribadi diri manusia.

*******

Seorang pria di pinggir seberang jalan duduk di tepi trotoar. Telepon genggam yang dipegangnya erat, terlihat erat sekali, sesekali ditilik olehnya. Mungkin dia menunggu sms masuk, atau mungkin dia menunggu telepon dari seseorang, atau mungkin dia ingin menghubungi seseorang tetapi dia enggan menghubunginya, atau kemungkinan lainnya dia tidak mempunyai cukup pulsa dan tidak mempunyai uang untuk mengisi ulang pulsanya. Pria itu berdiri sambil menggigit-gigit ujung jarinya, terlihat sangat gundah. Mungkin dia telah melakukan suatu kesalahan besar dalam hidupnya. Kemudian dia melipat kedua belah tangannya seperti berdoa. Mondar-mandir. Resah. Lalu dia melangkah perlahan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah…. Pada langkah yang ketiga dia mengurungkan niatnya, dia berbalik. Dia pasti mencari suatu kepastian, batinku. Dia terpaku diam. Gerakan itu terjadi lagi, dia berbalik jalan lagi. Pasti dia tadi mencoba membangun sebuah tekad, keberanian, sepertinya. Melangkah, melangkah lagi, terus melangkah menghampiri laki-laki paruh baya yang duduk di trotoar jalan yang sama seperti dia dan cuma berjarak sekitar tujuh langkah. Pria tersebut mengajak bicara laki-laki paruh baya itu. Kemudian laki-laki paruh baya mengeluarkan sesuatu dari dalam kantungnya. Oh…ternyata pria itu cuma ingin pinjam korek.

Lain lagi dengan gadis yang berdiri di depan café ini. Terlalu sibuk memilin-milin rambutnya yang agak ikal sambil membaca sebuah buku. Mengapa dia tidak masuk saja dan duduk di dalam café sambil minum secangkir kopi, pikirku. Mungkin dia menunggu seseorang, pacarnya atau temannya. Mungkin mereka ingin menonton film baru di bioskop. Maklum. Sekarang gelar film semakin meledak saja, baik itu lokal maupun dari luar. Mungkin juga mereka mau pergi ke mal, biasa…window shopping. Atau mereka mungkin mau pergi ke panti asuhan, sedikit memunculkan rasa solidaritas. Atau bahkan mereka akan pergi ke panti jompo, mungkin nenek atau kakek mereka disana. Seorang wanita berpakaian lusuh datang menghampiri perempuan itu. Seorang pengemis. Kadang aku berpikir bagaimana mungkin dia bisa meminta belas kasihan dari orang lain tanpa melakukan suatu usaha padahal orang yang dimintainya berusaha mati-matian buat mendapatkan seratus rupiah. Tapi entahlah, dunia mana kita tahu. Tuhan sudah mengatur strategi yang jitu untuk semuanya.
Gadis itu memberikan satu kepingan logam pada wanita berpakaian lusuh itu. Entah berapa nilai kepingan logam itu tidak terlihat dari balik kaca jendela ruangan ini. Gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri. Kemudian melihat jam yang melekat di tangan putihnya. Gadis yang lumayan. Pasti banyak laki-laki yang mencoba menaklukkannya. Gadis itu melihat ke seberang jalan kemudian tersenyum simpul. Dari seberang jalan juga muncul sebuah lambaian tangan. Oh, ternyata pria yang tampak gusar karena hanya ingin meminjam korek api tadi yang ditunggu sang gadis. Pria itu menyeberangi jalan, menghampiri sang gadis. Sentuhan hangat terjalin ketika pria itu memegang tangan sang gadis dan membelai rambut hitam gadis itu. Mereka berjalan mulai mendekati café tempatku duduk mengintai mereka. Mereka duduk di samping mejaku.

Secangkir kopi yang kupesan sudah hampir habis. Sudah sejam lebih aku duduk sendiri menanti kedatangan Rianti. Lelah sudah. Lelah duduk. Lelah minum kopi. Lelah mengamati tiap-tiap orang. Lelah menunggu. Lelah menghadirkan berbagai kemungkinan di kepalaku.

Bumi ini apakah daku punyai
Mengapa slalu sesak nafas kurasa…
Sempit ruang dalam kamarku yang pengap
Tak bisa gapai tangan kekar mengekang
Aku yang hina namun tetap manusia
Sama makan nasi dan meminum air…

Perlahan lagu lama Melly Goeslaw hadir dalam café ini, mengisi potongan-potongan kalimat yang terhenti antara berbagai manusia yang mengisi ruang ini. Benar kata Melly, kalau memang bumi ini punyaku, punya manusia, mengapa selalu terasa sesak, mengapa begitu banyak aturan-aturan yang sangat menjengkelkan. Mengapa aku harus bayar uang kos tiap bulan kalau memang benar dunia ini milikku… begitu rumit jawaban yang akan didapat hanya dengan pertanyaan yang begitu sederhana.

Aku sudah hampir mati kesal. Rianti. Harusnya dia memberi kabar kalau dia terlambat atau tidak datang sama sekali. Mungkin dia terlambat bangun, baru bangun pukul satu siang. Kemudian dia bergegas mandi tetapi sayang dia lupa kalau sabun mandinya jatuh ke wc dan dia kehabisan persediaan di kamarnya. Atau mungkin dia membeli makan siang dulu di warung bu Suryo dekat tempat kosnya dan sakit perut setelah memakannya. Akibatnya, Rianti harus keluar masuk kamar mandi beberapa kali. Mungkin dia mendapat telepon mendadak dari rumah sakit kalau anjingnya “Smoothie” tewas ketika menyeberangi jalan mengejar seekor kucing di kampungnya. Mungkin juga tiba-tiba Rianti kehilangan kunci kamarnya sehingga tidak bisa ditinggal pergi begitu saja. Kemungkinan lain adalah Rianti berjalan keluar dan di perjalanan hendak menunggu taksi kepalanya di hinggapi kotoran burung dan memaksa Rianti untuk kembali ke kamarnya untuk mandi lagi. Atau mungkin juga dia terjebak macet ketika dalam perjalanan kemari. Mungkin dia tersesat di kota ini, tidak tahu jalan pulang, tidak tahu jalan pergi, tidak tahu jalan ke café ini, tidak tahu jalan Ahmad Yani no. 32. Dan mungkin kemungkinan terakhir adalah bahwa Rianti tidak ingat kalau dia telah berjanji untuk bertemu denganku, Jingga, di sebuah café di kawasan jalan Ahmad Yani no.32 untuk menyelesaikan tugas kuliah yang akan dikumpulkan besok pagi pada bapak drs. Gerilya Prabu, M.Si.


*******

“Ga, sorry…aku ga jadi datang. Aku tadi mau kesana. Tadi aku terlambat bangun, baru bangun jam satu. Aku cepat-cepat mandi dan ternyata aku baru ingat tadi malam aku menjatuhkan sabun mandiku ke wc. Aku harus ke warung sebelah dulu beli sabun. Habis itu, aku makan dulu di warung bu Suryo. Setelah makan eh…aku sakit perut, jadi aku bolak balik kamar mandi. Habis dari kamar mandi tiba-tiba handphone-ku bunyi, aku di telpon dokter hewan dan dibilangin kalau si-Smoothie mati ketabrak mobil. Udah gitu aku kehilangan kunci kamar dan harus nyari dulu. Pas udah ketemu, aku keluar dari kamar, aku diberakin burung. Sialan. Akhirnya aku pulang dan mandi lagi. Kemudian aku berangkat lagi dan terjebak macet. Aku gak tahu aku berada di jalan apa. Aku juga tersesat. Bahkan jalan mau ke café tempat kita bertemu pun aku gak ingat. Diantara kebingunganku karena mendadak aku gak tahu rute jalan, aku benar-benar lupa pada janjiku untuk bertemu. Aku malah pergi ke rumah sakit untuk melihat Smoothie yang sudah tak bernyawa. Sekarang aku berada di upacara pemakaman Smoothie. Kamu datang ya Ga… temani aku disini. Oh, iya… ngomong-ngomong kamu masih di café gak?”
“……………………………”