Jumat, 19 Juni 2009


Sudah kukatakan kepadamu, berulang-ulang, mungkin sudah berjuta-juta kali kalau aku cinta padamu walaupun hanya kubisikkan ke dalam hatimu. Aku tahu kau pasti tidak mengerti arti tatapan mataku. Mungkin kau juga tak tahu siapa namaku. Sedangkan aku, nama ayahmu saja aku tahu. Cinta ini telah kulahirkan dari perut rasa dalam diriku tanpa kau perlu tahu.

Di suatu tempat pada suatu musim di kota aku dan kau berada, kita bertemu. Berpapasan. Tak ada tegur. Tak ada sapa. Karena kita belum saling kenal, hanya aku yang mengenalmu. Kau kesana. Aku kesitu. Tetapi kita bertemu lagi ditempat itu. Tetap tanpa kata. Tiba-tiba kau berhenti tak jauh dariku.
“Alfa…!!!” Kau memanggil namaku.
Aku berhenti. Darahku mendesir, jantungku tak bisa dikendalikan, seolah ingin melompat dari tempatnya. Dia tahu namaku, dia tahu namaku. Jeritku dalam hati. Kau berjalan menghampiriku, memberikanku seuntai senyuman.
“Aku Bumi.” Kau ulurkan tanganmu memperkenalkan diri.
“Alfa…” Kusebutkan namaku.
“Kita bisa ngobrol bentar?”
Aku hanya mengangukkan kepala serasa tak percaya. Kau ajak aku ke Café Ujung Jalan menikmati secangkir teh di tengah rintik-rintik hujan sore ini.

Pertama kali aku terlihat sangat gugup, tak tahu harus bilang apa. Kau yang mendominasi percakapan kita pada pertemuan pertama ini. Aku hanya bisa menjawab ”Ya” dan ”Tidak” sambil sekali-kali tersenyum mendengar cerita tentang dirimu. Aku merasa begitu sempurna berada di dekatmu. Setelah pertemuan itu, kau masih mengajak aku untuk bertemu untuk kedua kalinya di tempat yang sama seperti kemarin.

“Kamu kenal Fata?” tanyamu.
“Fata?”
“Iya, Fata. Fatamorgana. Kamu kenal kan?”
“Iya, dia sahabatku. Kenapa?”
“Aku…aku…suka dia.”
Aku terdiam. Aku pura-pura meneguk Cappuccino yang ada di depanku. Aku seperti terlempar.
“Tolong bantu aku, Alfa.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
Aku tidak bisa menolak permintaannya. Aku terpojok dalam rasa yang telah kuciptakan dari awal. Seharusnya aku tidak usah terlalu banyak berharap akan dirinya.
“Tolong bantu aku agar Fata juga mencintaiku.”
Aku mengangguk perlahan dengan senyuman getir di bibirku.
Aku memandang ke arah kaca jendela, mencoba menahan tetes air mata yang begitu ingin keluar dari tempatnya.
* * * * *

Aku dan Fata memang sangat berbeda. Fata begitu cantik dan memesona. Tak ada yang kurang pada diri Fata. Sedangkan aku, tak ada yang menarik dariku. Hanya lembar-lembar buku yang selalu menemani kesendirianku. Air mataku tak bisa keluar lagi. Begitu sedih. Ku hanya duduk di meja belajarku memandangi fotoku dan Fata saat masih kecil dulu. Aku kenal Fata dari SD hingga sekarang. Kami seperti tak terpisahkan, bagai saudara kembar yang selalu bersama tapi tak serupa.

“Alfa, aku masuk ya. Ada yang mau aku ceritakan…” Fata datang ke rumahku sore itu.
“Masuk aja, Ta… Pintunya gak dikunci kok.”
Fata masuk ke kamarku kemudian barbaring santai di tempat tidurku. Aku masih duduk di depan meja belajarku berpura-pura menuliskan sesuatu di atas kertas buku harianku.
“Sini dong, Al…aku mau curhat nih.”
Aku berjalan menghampirinya.
“Kenapa sih kok muka kamu kucel banget? Lagi suntuk ya? Kenapa? Cerita dong ke aku…” Kata Fata.
“Gak kok… aku gak kenapa-napa. Cuma rada pusing aja. Tadi aku ujian matematika dapet jelek. Kamu dapet berapa Ta?”
“Sama, aku juga dapet jelek. Nyante aja lagi, kan ada ujian perbaikan. Kita belajar bareng ya…”
“O, iya…kamu mau cerita apa, Ta?”tanyaku.
“Gak koq, aku cuma pengen maen aja.”
“Ta, kamu ada cowok yang disukain gak?”
“Hmmm…ada sih, tapi aku malu ceritainnya. Jangan-jangan ntar kamu juga suka sama dia, kita kan satu selera. Enakan jaga persahabatan daripada cinta-cintaan.” kata Fata.
“Iya sih, apalagi kita udah lama banget temenan. Masa gara-gara cowok kita harus berantem trus gak temenan lagi. Cerita aja cowok yang kamu suka siapa, aku pasti gak suka sama dia…” Aku berusaha membujuk Fata.
“Aku suka sama Bumi.”
Aku tersentak kaget. Ternyata Fata juga menyukai Bumi.
“Oh…Bumi juga suka sama kamu lho, Ta.” Ujarku ringan.
“Masa sih? Kamu tahu dari siapa, Al?”
“Bumi cerita samaku kemaren. Aku dimintain tolong sama dia buat jadi mak comblang kalian berdua.”


* * * * *









Yogyakarta, 17 April 2006
Untuk
Kau yang disana

Hai, apa kabar?
Sudah lebih tiga tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Padahal semenjak pertemuan kita di Cafe Ujung Jalan kita telah menjadi sahabat. O,iya… Bagaimana kabar Fata disana? Kamu gak berpaling ke lain hati kan? Waktu itu kamu bilang padaku kalau kamu akan mencintainya selamanya. Berarti aku gak akan pernah dapat kesempatan untuk miliki kamu kan?
Sebelum pertemuan kita waktu itu, aku sudah tahu tentang kamu. Semuanya. Pasti kamu gak tahu kan? Ya jelas aja, di pikiranmu kan cuma ada Fata.
Aku mencintaimu lebih dari kamu mencintai Fata. Aku hanya ingin mengorbankan sedikit rasa dihatiku. Toh, aku masih bisa tetap dekat dengan kamu. Kamu berhutang budi padaku, Bumi. Aku hanya mau jujur tentang perasaanku padamu. Tak ada sedikitpun niatku untuk merebutmu dari sisi Fata. Jelaskan pada Fata ya!! Kalian dua orang terbaik yang pernah aku miliki. Sebenarnya aku juga ingin bersama-sama dengan kalian disana, tapi Tuhan tidak pernah mengijinkan aku walaupun hanya sekedar menjenguk saja. Padahal begitu banyak cerita yang harus kubagi dengan kalian.

Ini suratku yang pertama. Mudah-mudahan sampai ke tangan kalian. Walaupun Bumi sudah menyatu dengan bumi dan Fatamorgana semakin menjadi bayang-bayang, kalian selalu ada di hatiku.
Aku tetap menunggu kalian disini untuk menjemputku.
Aku sayang kalian.

Salamku,
Alfa Omega

* * * * *

Aku menyusuri sepanjang jalan ini menuju kantor pos kota untuk mengirimkan surat ini kepadamu yang berada di surga abadi.

संपै Kapan


Menantikanmu dalam jiwaku
sabar ku menunggu, berharap sendiri
Aku mencoba merindukan bayangmu
karena hanyalah bayanganmu yang ada

Hangat mentari dan terangnya rembulan,
mengiringi hari-hariku yang tetap tanpa kehadiranmu
Indahnya pelangi yang terbit kala sinar matamu menembus relung hatiku

Pantaskah diriku ini mengharapkan suatu yang lebih dari hanya sekedar perhatian dari dirimu yang kau anggap biasa saja atau mestikah ku simpan dalam diri lalu ku endapkan rasa ini terus selama-lamanya

Diriku cinta dirimu dan hanya itulah satu yang aku tak jujur kepadamu,
ku ingin kau mengerti. Mungkinkah engkau sadari cinta yang ada di hatiku tanpa sepatah kata pun ku ucapkan padamu.

Sayang, dapatkah aku memanggilmu sayang?
Sampai kapan aku pun tak sanggup tuk pastikan ku dapat memendam seluruh rasa ini
Dengarlah jeritan hatiku untukmu dan aku ingin engkau mengerti apa yang di hatiku, sanubariku, kita kan berdua selamanya.


source:
*Maliq & D'Essentials
*Google

Rabu, 17 Juni 2009

betapa aku merindukanmu.



Yang tak biasa,
yang diberikannya untukku.
Yang tak bisa,
yang direlakannya untukku.

Terasa dalam cintanya,
terasa nikmat kasihnya.

Dalam jauh,
dia tak pernah jenuh.
Bahkan tak pernah mengeluh,
ketika aku tak patuh.

Betapa aku merindukanmu.



Dia keren banget!
Cuma itu kata yang bisa gue ucapin buat Agyness.